Dapatkan demo sistem ERP secara GRATIS beserta demo software ERP lainnya.
Pilih Solusi:
Tax avoidance merupakan hal yang biasa dilakukan oleh wajib pajak untuk meminimalkan pembayaran pajak oleh orang pribadi atau perusahaan yang berutang ke kas negara. Hal ini tentunya akan berdampak negatif bagi negara karena dapat mengakibatkan berkurangnya penerimaan pemerintah dari departemen perpajakan. Wajib pajak melakukan penghindaran pajak dengan berbagai cara. Misalnya, keringanan atau keringanan pajak yang diterima pejabat UMKM Indonesia melalui ketentuan PP No 23 Tahun 2018 sering disalahgunakan oleh pengusaha curang yang tidak mau membayar PPh. Seperti kita ketahui dalam arahan ini pelaku UMKM hanya diwajibkan membayar pajak penghasilan sebesar 0,5% dari omzet. Untuk memanfaatkan peluang ini, para penyamun dapat menganalisis laporan keuangan individu dan perusahaan untuk memastikan bahwa total omset mereka tidak melebihi Rp4,8 miliar. Disisi lain tax evasion adalah tindakan yang bertujuan mengurangi pajak yang terutang oleh wajib pajak atau secara melawan hukum tidak membayar pajak sama sekali. Contoh umum penghindaran pajak adalah ketika wajib pajak gagal untuk menyatakan sebagian atau seluruh penghasilannya dalam SPT atau membebankan biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilannya untuk meminimalkan beban pajaknya tentu kegiatan ilegal ini sangat merugikan negara.
Sebenarnya yang membedakan Tax Avoidance dan Tax Evasion adalah dari sisi legalitasnya. Tax Avoidance yang mempunyai sifat legal sedangkan Tax Evasion mempunyai sifat ilegal. Apalagi dalam praktiknya pengelompokan tersebut biasanya didasarkan pada interpretasi otoritas pajak negara masing-masing. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa perbedaan keduanya terletak pada legalitas, namun di sisi lain keduanya melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Penghindaran pajak ini sering dilakukan oleh Wajib Pajak ketika SKP (ketetapan pajak) belum diterbitkan, dan secara tidak langsung Wajib Pajak yang melakukan penghindaran tersebut tidak mendukung tujuan dibuatnya undang-undang perpajakan. Tax Avoidance sendiri merupakan pelanggaran pajak untuk mencari dan memanfaatkan celah dalam sistem perpajakan suatu negara dan melaksanakan program penghindaran pajak yang bertujuan untuk mengurangi beban pajak. Pada prinsipnya tax avoidance ini legal karena tidak melanggar undang-undang perpajakan, namun memberikan dampak negatif yang cukup besar terhadap penerimaan pajak negara khususnya di Indonesia. Menurut ahli James Kessler, tax avoidance dapat dibagi menjadi dua bagian penghindaran pajak yang diizinkan dan penghindaran pajak yang tidak diizinkan. Penghindaran pajak yang diizinkan ini untuk alasan yang sah, bukan untuk penghindaran pajak, dan tidak melibatkan transaksi penipuan. Penghindaran pajak tanpa izin, di sisi lain, adalah penggunaan transaksi penipuan dengan niat buruk untuk menghindari pajak. James Kessler, serta Ronen Palan, berpendapat bahwa ketika suatu kegiatan dengan sengaja menunda pembayaran pajak yang terutang oleh pembayar pajak, itu melakukan salah satu tindakan ini, seperti membebankan keuntungan yang diperoleh daripada keuntungan yang diperoleh mengatakan itu disebut penghindaran pajak aktivitasnya .
Tax evasion sendiri merupakan suatu pelanggaran dalam perpajakan dalam melakukan skema penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan, bahkan beberapa wajib pajak sama sekali tidak membayar pajak terutang yang harus dibayarkan melalui cara-cara yang ilegal. Misalnya, dalam kasus penghindaran pajak yang umum, wajib pajak tidak melaporkan sebagian atau seluruh penghasilannya ke SPT, membebankan biaya yang seharusnya tidak menambah biaya dengan cara tertentu. Menurut Defiandry Taslim, praktisi dan akademisi perpajakan berpendapat bahwa tax evasion adalah upaya kecil-kecilan untuk mengurangi jumlah pajak yang dibayarkan, dengan kata lain untuk mengalihkan beban pajak yang harus dibayar dengan melanggar aturan perpajakan yang berlaku. Kita sudah tahu perbedaan antara antara tax avoidance dan tax evasion. Keduanya tentu saja melanggar undang-undang perpajakan yang berlaku di beberapa negara, khususnya Indonesia. Jika demikian apakah pemerintah Indonesia benar-benar telah mengumumkan kebijakan untuk memerangi penggelapan pajak dan praktik penghindaran pajak? Terkait penghindaran pajak, pemerintah telah memberlakukan peraturan untuk mengatasi terjadinya praktik penghindaran pajak seperti pengurangan keuntungan. Hal ini diatur dalam Pasal 18(1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan PMK No. 169/PMK.03/2015 dalam menentukan perbandingan modal utang dan modal saham untuk keperluan penghitungan pajak penghasilan. Di sisi lain sebagai otoritas pajak Indonesia, DJP mengadili para pelaku penggelapan pajak, khususnya penggelapan pajak dan tindakan penggelapan pajak lainnya. Penuntutan Kecil dan Penuntutan Ganda. Penuntutan ringan dikenakan untuk pelanggaran hukum administrasi berupa bunga atau denda. Pelanggaran pajak dikenakan tuntutan yang tegas, namun sanksi yang dijatuhkan adalah sanksi pidana.
Di Indonesia pemerintah telah mengembangkan pedoman untuk mengatur perang melawan penghindaran pajak. Kami merumuskan kebijakan berikut berdasarkan lima poin utama. 1. Transfer Pricing Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18(3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Arahan Penetapan Harga Transfer mengatur wewenang Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan penghasilan dan pengurangan serta menentukan kewajiban sebagai modal untuk menghitung penghasilan kena pajak. Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa. 2. Anti Thin Capitalization Berdasarkan Pasal 18, Pasal 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 169/PMK.03/2015 tentang Penetapan Perbandingan Modal Utang dan Modal Sendiri Untuk Perhitungan Pajak Penghasilan. Mengatur upaya Wajib Pajak untuk mengurangi beban pajak dengan menaikkan suku bunga dan meningkatkan kredit untuk mengurangi keuntungan. 3. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Kebijakan ini diwujudkan dalam General Anti-Avoidance Rule (GAAR), keputusan yang dibuat wajib pajak untuk menghindari pajak atau transaksi yang tidak memiliki substansi komersial. Adalah PER-32/PJ/2011 yang mengatur tentang penerapan prinsip kewajaran dan praktik komersial dalam transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak terkait. 4. Controlled Foreign Corporation (CFC) Rules Sesuai dengan Pasal 18(2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, kebijakan ini menetapkan bahwa wajib pajak yang menerima dividen domestik atas saham yang dimiliki di perusahaan asing tidak boleh menjual lebih dari 50% saham di bursa efek. 5. Anti-treaty Shopping Khusus untuk anti-treaty shopping, PER-25/PJ-2010 memberlakukan kebijakan ini untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian pajak berganda.
1. Pelaporan penghasilan dalam SPT (Surat pemberitahuan Tahunan) yang tidak sesuai
Wajib Pajak harus menyatakan semua penghasilan yang diperolehnya sebagai kena pajak. Namun, tidak jarang Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan penghasilan yang bukan atau hanya sebagian dari penghasilan yang sebenarnya. 2. Harta kekayaan yang tidak dilaporkan
Hal ini terjadi ketika properti yang dikenakan pajak tidak dikenakan beban pajak yang sebenarnya. 3. Overestimate of deduction
Contoh penghindaran pajak yang paling umum adalah melebih-lebihkan pengurangan dari beban kena pajak atau pelaporan. Biaya ini digunakan sebagai pengurang untuk meminimalkan beban pajak Anda, sehingga Anda juga akan dikenakan pajak lebih sedikit. 4. Tax evasion pada pembelian properti
Seorang pengembang properti real estate mewah bisa menjual satu rumah dengan harga Rp 20 miliar. Namun akta notaris hanya mencantumkan Rp 18,2 miliar, menyisakan selisih Rp 18,2 miliar. Dalam transaksi ini, potensi penerimaan negara dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan tidak mencukupi dan pemerintah mengalami kerugian. Hal ini dilakukan untuk menyamarkan pendapatan riil melalui penghindaran pajak. Merupakan tanggung jawab semua wajib pajak untuk menyadari pentingnya penerimaan pajak bagi pembangunan nasional dan kepentingan umum. Kepatuhan terhadap praktik perpajakan oleh wajib pajak sangat penting karena hasil pemungutan pajak pada akhirnya bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Penggelapan pajak tidak serta merta terjadi, tetapi dilakukan oleh wajib pajak. Terjadinya suatu tindakan harus dipicu oleh suatu alasan. Memahami penyebab penggelapan pajak dapat membantu wajib pajak menghindari praktik ini. Penggelapan pajak dalam praktik perpajakan terjadi karena beberapa alasan antara lain: • Kurangnya kesadaran dan pengetahuan wajib pajak tentang kewajiban perpajakan. Sama seperti pembayar pajak merasa terbebani dengan membayar pajak, demikian juga ketidakpercayaan mereka terhadap kontrol dan transparansi. • Ketidakmampuan pemerintah untuk memaksimalkan potensi pajak • Sistem self-assessment yang berlaku di Indonesia dengan potensi wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan kewajiban pajaknya. Direktorat Jenderal Pajak adalah otoritas pajak yang diberi wewenang untuk menegakkan undang-undang pelanggaran pajak. Wajib Pajak yang melakukan penghindaran pajak atau tax evasion sedikit banyak kemungkinannya untuk diadili. Penuntutan ringan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran administratif dapat dilakukan dalam bentuk denda dan penuntutan berat dapat dikenakan hukuman pidana.
Tax evasion adalah salah satu hal yang sulit dihindari karena sifat naluriah manusia yang tidak mau membayar pajak. Tax evasion juga merupakan tanggung jawab wajib pajak dan otoritas pajak. Wajib Pajak perlu menyadari bahwa pemungutan pajak sebenarnya merupakan kepentingan umum yang pada akhirnya menguntungkan Wajib Pajak melalui fasilitas yang disediakan pemerintah. Selain itu otoritas pajak memiliki kewajiban untuk meningkatkan deteksi pelanggaran dan efisiensi sistem administrasi perpajakan. Dalam hal ini, pemerintah juga perlu meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa penggunaan pemungutan pajak efektif.
Kesempatan lowongan magang terbaru di tahun 2024
Baca Selengkapnya..