Pajak karbon telah diperkenalkan di Indonesia untuk mengendalikan perubahan iklim dan memerangi pemanasan global. Pajak terse but akan berlaku untuk sektor pembangkit listrik tenaga batu bara mulai 1 April 2022.Aturan pajak CO2 tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Undang-Undang Perpajakan (UU) yang disahkan Majelis Umum DPR pada 7 Oktober 2021.
Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar fosil seperti bensin, avtur dan gas. Sederhananya, pajak ini dikenakan pada mereka yang menggunakan bahan bakar tersebut. Menurut laporan di situs DJP, pajak karbon bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca dalam upaya memerangi pemanasan global. Memperkenalkan pajak karbon di Indonesia dapat membantu memperlambat pemanasan global, mengendalikan perubahan iklim, meningkatkan pendapatan pajak bagi pemerintah, dan meningkatkan efisiensi energi bagi konsumen dan bisnis.“Implementasi pajak karbon ini menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini, negara-negara tersebut merupakan Inggris, Jepang, dan Singapura,” ucap Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu. Selain itu, pengenaan pajak karbon mengirimkan sinyal yang kuat untuk mempromosikan pengembangan pasar karbon, inovasi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon dan ramah lingkungan. Pendapatan pemerintah dari pajak karbon dapat digunakan untuk meningkatkan pendanaan pembangunan, berinvestasi dalam teknologi hijau, atau mendukung masyarakat berpenghasilan rendah melalui program sosial.
1. Bertujuan untuk mengubah perilaku pelaku ekonomi dan transisi ke ekonomi hijau rendah karbon 2. Dukungan untuk target jangka menengah hingga jangka panjang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca 3. Mempromosikan pengembangan, inovasi dan investasi pasar yang lebih efisien, rendah karbon dan ramah lingkungan.
1. ADIL: berdasarkan pada “prinsip pencemar membayar” (polluters-pay-principle)
2. TERJANGKAU: memperhatikan aspek keterjangkauan demi kepentingan masyarakat luas
3. BERTAHAP: memperhatikan kesiapan sektor agar tidak memberatkan masyarakat
Pengenaan pajak karbon memiliki beberapa keuntungan bagi negara. 1. Pengurangan emisi gas rumah kaca dari sumber emisi 2. Penerimaan pajak karbon dapat digunakan untuk: a. menambah dana pembangunan b. Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim c. Investasi hijau d. Bantuan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial
Landasan hukum Pajak karbon telah ditetapkan, sedangkan aturan-aturan turunan sedang disusun. Hukum yang melandasi pajak karbon ada 2, yaitu UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan NEK. UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan – Pasal 13 Pokok-pokok pengaturannya adalah: Pengenaan: sanksi yang dikenakan atas emisi CO2 yang berdampak negatif terhadap lingkungan.
Arahan penerapan pajak karbon: Perhatikan peta jalan pasar karbon dan/atau peta jalan pajak karbon. Hal ini meliputi strategi pengurangan emisi karbon, target sektor prioritas, penyelarasan dengan pengembangan energi baru dan terbarukan, serta penyelarasan dengan berbagai kebijakan lainnya.
Prinsip Pajak Karbon: Prinsip Pemerataan (Equity) dan Keterjangkauan (Affordability), dengan memperhatikan lingkungan usaha dan masyarakat kecil.
Tarif pajak karbon berada pada atau di atas harga karbon pasar karbon, dengan tarif minimum Rp 30,00 per kilogram setara karbon dioksida (CO2e). Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan NEK - Pasal 58 Pokok-pokok pengaturannya adalah: - Pungutan Atas Karbon didefinisikan sebagai pungutan negara baik di pusat maupun daerah, berdasarkan kandungan karbon dan/atau potensi emisi karbon dan/atau jumlah emisi karbon dan/atau kinerja Aksi Mitigasi.
- Selanjutnya, pengaturan atas pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Beberapa negara telah memperkenalkan pajak karbon yang dihitung secara berbeda. Finlandia memperkenalkan pajak pada tahun 1990, diikuti oleh Swedia dan Norwegia pada tahun 1991. India telah memperkenalkan pajak ini sejak 2010. Disusul Jepang dan Australia pada 2012, Inggris pada 2013, China pada 2017 dan Afrika Selatan pada 2019. Di Asia Tenggara, Singapura adalah satu-satunya negara yang menerapkan pajak ini pada 2019. Di negara-negara yang telah memperkenalkan pajak karbon, hal ini berdampak pada pengurangan emisi dan peningkatan pendapatan pemerintah dari pendapatan pajak.Tarif pajak ini umumnya dikenakan per ton CO2 yang dihasilkan oleh kegiatan manufaktur dan berkisar antara US$1 per ton hingga US$139 per ton. Bagaimana dengan Pajak karbon di Indonesia? Kebijakan pajak CO2 ini masih dipertimbangkan dan diperdebatkan. Mengutip Buletin Pansus APBN DPR RI edisi 5 April 2020, penerapan pajak bahan bakar ini akan melibatkan pengurangan emisi gas rumah kaca, peningkatan penerimaan pemerintah berupa penerimaan pajak, dan peningkatan konsumsi. memiliki beberapa efek positif, seperti memberdayakan pengguna. Pengusaha harus meningkatkan efisiensi energi, berinvestasi dalam teknologi hemat energi dan memperkenalkan administrasi pemungutan pajak yang disederhanakan. Di sisi lain, pengenalan pajak ini dapat menyebabkan harga yang lebih tinggi karena peningkatan biaya produksi. Tingginya harga komoditas melemahkan daya beli masyarakat, sehingga menyulitkan pengusaha bersaing di pasar ekspor. Dari sini juga memiliki dampak tidak langsung atau langsung pada tingkat kebaikan bersama. Meningkatnya biaya mendorong pengusaha untuk memotong pengeluaran bisnis, termasuk biaya tenaga kerja yang dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan. Proposal untuk memperkenalkan pajak karbon telah muncul kembali selama pandemi ini. Pasalnya, pajak migas ini bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi negara pasca pandemi Covid-19. Penerapan peraturan ini juga akan membantu mengurangi emisi karbon dan mengurangi pemanasan global. Selain itu, skema pajak bahan bakar diyakini juga dapat mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri. Kesimpulan Pajak CO2 adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi bahan bakar berdasarkan kandungan karbonnya. Beberapa negara telah memperkenalkan pajak ini untuk mengurangi emisi bahan bakar sekaligus meningkatkan pendapatan pemerintah. Di Indonesia sendiri, pajak minyak mineral yang kembali muncul di masa pandemi Covid 19 ini masih menjadi perdebatan karena diyakini dapat meningkatkan penerimaan negara. Tantangannya berkisar dari kenaikan harga komoditas akibat kenaikan biaya produksi hingga ancaman terhadap barang publik.
Kesempatan lowongan magang terbaru di tahun 2024
Baca Selengkapnya..